Ustadz Rahmat Abdullah adalah seorang guru yang perlu ditiru, pembina yang bijaksana, murabbi yang rendah hati, lahir di kampung Betawi daerah Kuningan, Jakarta Selatan, 3 Juli 1953. Putra kedua dari empat bersaudara dari pasangan Abdullah dan Siti Rahmah.
Beliau pernah menuntut ilmu di pesantren “Perguruan Islam Asy Syafi’iyah”, Bali Matraman, Jakarta Selatan, sekaligus berguru kepada pendiri pesantren Perguruan Islam tersebut, seorang ulama yang tegas dan kharismatik, KH. Abdullah Syafi’i.
Kecintaannya kepada ilmu, dunia pendidikan dan pembinaan (tarbiyah) meyebabkan beliau mengajar di almamaternya dan Darul Muqorrobin, Karet, Kuningan, Jakarta Selatan, serta membina pemuda-pemuda yang berada di sekitar rumahnya.
Guru beliau lainnya adalah Ustadz Bakir Said Abduh, lulusan perguruan tinggi Mesir, pengelola Rumah Pendidikan Islam (RPI), Kuningan Jakarta Selatan. Melalui ustadz Bakir Said Abduh, Ustadz Rahmat banyak membaca buku-buku karya ulama Al-Ikhwan Al-Muslimin, salah satunya adalah buku Da'watuna (Hasan Al-Bana) yang kemudian ia terjemahankan menjadi Dakwah Kami Kemarin dan Hari Ini (Pustaka Amanah).
Sebagai seorang Ustadz dan seorang Murabbi, beliau tidak berpikiran sempit, memiliki wawasan yang luas, memiliki perhatian dan kepedulian terhadap permasalahan dunia Islam, seperti Afghanistan, Bosnia, khususnya Palestina yang masih dijajah Zionis Israel.
Ketika masyarakat Jakarta mengikuti aksi damai “SELAMATKAN AL AQSHA”, Ahad, 17/4/2005, yang diadakan DPP PKS dan diikuti 250.000 masa.
Ustadz Rahmat Abdullah walaupun dalam keadaan sakit, beliau turut serta dan tidak mau ketinggalan untuk ambil bagian membela rakyat Palestina dan Masjid Al-Aqsha yang akan dihancurkan oleh tangan kotor Zionis Israel. Bahkan beliau ikut long march dari bundaran HI ke Kedutan Besar AS di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, dan melakukan orasi membangkitkan semangat kader dakwah dalam perjuangan dan membela saudaranya di Palestina yang sedang dizalimi penjajah Israel.
Di antara isi pidatonya adalah:
“Yang mati ditikam sudah banyak, yang mati kena narkoba melimpah, yang mati kebut-kebutan kecelakaan lalulintas sudah banyak. Indonesia bertanya, siapa yang mati dengan seni kematian yang paling indah? Seni kematian yang paling baik membela ajaran Allah, membela mereka yang tertindas dan teraniaya. Mungkin banyak yang ngeri dengan istilah tadi. Sekedar berjalan kaki dari HI kemari (ke depan kedubes AS) belum berarti apa-apa. Tetapi ini akan jadi sangat berarti bagi saudara-saudara kita di Paletina. Tahukah saudara-saudara sekalian?! Di tengah derita mereka, hidup bertahun-tahun ditenda dan rumah-rumah darurat, ternyata saudara-sadara kita di Palestina masih sempat mengirimkan sumbangan untuk saudara-saudara kita di Aceh (korban gempa dan Tsunami) kemarin. Karena yang bisa memahami derita adalah orang yang sama –sama menderita, oleh karena itu walaupun kita tidak dalam derita seharusnya punya kepekaan, punya kepedulian dan punya hati yang halus dan lembut untuk bisa mendengar rintihan suara anak –anak di Palestina”.
Kehadiran Ustadz Rahmat dalam Aksi Solidaritas untuk Palestina dengan tema “SELAMATKAN AL AQSHA”, Ahad, 17/4/2005 dan orasinya di depan kedubes AS, merupakan kehadiran beliau untuk yang terakhir kalinya dalam mengikuti Aksi Pembelaan untuk Palestina, karena dua bulan setelah Aksi Solidaritas tersebut tepatnya pada hari Selasa, 14 Juni 2005, beliau wafat pada usia 52 tahun, dengan meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak. Jasad beliau dikuburkan di samping komplek Islamic Center IQRO’, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”. (QS. Al-Ahzab/33:23)
Doa Ustadz Rahmat: ”Ya ALLAH, dengan kasih sayang-Mu …Engkau kirimkan kepada kami da’i penyeru iman…Kepada nenek moyang kami penyembah berhala…Dari jauh mereka datang karena cinta mereka kepada da’wah…Berikan kami kesempatan dan kekuatan, keikhlasan dan kesabaran…Untuk menyambung risalah suci dan mulia ini kepada generasi berikut kami…Jangan jadikan kami pengkhianat yang memutuskan mata rantai kesinambungan ini…Dengan sikap malas dan enggan berda’wah…Karena takut rugi dunia dan dibenci bangsa”.
H.Ferry Nur S.Si, Sekjen KISPA
ferryn2006@yahoo.co.id
Taken from www.eramuslim.com
Kolam hiasan
6 years ago
0 comments:
Post a Comment