Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label taqwa. Show all posts
Showing posts with label taqwa. Show all posts

Thursday, December 15, 2011

Rasa Bertuhan

Kalau manusia mengenali Tuhannya
Hancur luluh hatinya lembutlah jiwanya
Tak sempat mengingati perkara yang lain
Hati n jiwanya semata-mata terpaku
Dengan Tuhannya

Jika manusia mengenali kehebatan
Keagungan Tuhannya kecutlah perutnya
Kalau manusia sentiasa sedar pendengaran
Penglihatan dan pengetahuannya

Tuhan tidak pernah lekang dari manusia
Nescaya manusia ini tawaduk merendah diri
Di bumi Tuhannya

Jika manusia rasa bertuhan hidup di hatinya
Matilah angan-angan
Takut pun datang menerpa dihatinya
Manusia akan sibuk dengan dirinya
Tak sempat memikirkan diri orang lain
Takut dan bimbang tak sempat mengumpat

Aduh! kalau Tuhan sentiasa di hati
Perasaan berTuhan mencengkam di hati
Mengenang pula nikmat
Nikmat Tuhan yang banyak
Bertambah perasaan cinta dan takut
Cinta kerana nikmat dan kasih sayangnya
Takut kalau nikmat ditarik semula
Kalau terbuat dosa akan diazabnya

Begitulah kalau seseorang hamba mengenali Tuhannya
Hatinya sangat sibuk dengan Tuhan
Dunia dan nikmatnya tidak mempengaruhinya
Sekalipun dunia di tangannya


Adapted from Mawaddah's Nasyid "Rasa Bertuhan"

Wednesday, January 26, 2011

Doa Adalah Inti Ibadah

www.eramuslim.com

Allah swt berfirman :


وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A'raf : 56)


Allah swt memerintahkan hamba-Nya agar mendekat untuk berdoa kepada-Nya dengan dua dorongan, takut akan adzab dan musibah, berharap hidup damai dan berkelimpahan nikmat, perintah ini berkali-kali Allah nyatakan dalam beberapa firman-Nya :


ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ

الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A'raf : 55)


Allah swt menggambarkan sifat orang-orang shalih :


كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami.” (QS. Al Anbiya : 90)


Karena itulah para ulama satu kata dalam menyatakan doa sebagai inti dari pada ibadah, doa adalah karakter utama bagi seorang muslim yang memperlihatkan ketundukan total kepaa Allah swt.


Hikmah doa tidak sesempit persepsi sebagian dari kita, yang hanya dibatasi sebagai sarana untuk memperoleh segala keinginan dan menjauhkan segala kekhawatiran dari diri kita, mereka memahami doa hanya sebagai sarana semata, padahal doa adalah sebuah pernyataan manusia akan kehambaan yang disandangnya, akan ketundukan total kepada Allah, apakah doa itu terkabul atau tidak, karena kita tahu tidak ada tempat untuk mengadu kecuali kepada-Nya dalam kondisi apapun kita, tidak ada tempat bernaung dan lari dari keburukan kecuali kepada-Nya yang penuh kasih, tidak ada Tuhan selain-Nya yang menggantikan posisi ataupun menjadi perantara kepada-Nya, Dia adalah Esa dalam kuasa untuk bahagia dan sengsaranya kita.

Jadi tidak ada jalan bagi kita kecuali menghiba kepada-Nya dengan penuh kehambaan dan kehinaan, apapun kondisi yang kita alami.


Inilah hakikat ibadah kita kepada Allah swt, inilah tujuan inti manusia diciptakan, untuk memproklamasikan diri dengan bahasa lisan dan aktifitas raga maupun hatinya, bahwa dirinya adalah hamba Allah, milik Sang Pencipta yang Maha Agung.

Inilah indahnya aturan Allah swt, Dia mendidik hamba-Nya untuk menjiwai karakter ini dengan dua motivasi utama, pertama, berharap akan rahmat dan nikmat-Nya, kedua, khawatir akan siksa dan keburukannya, kita akan mendapati dua sifat ini sebagai bukti akan keadilan Allah, antara satu sifat dengan yang lain saling menyeimbangkan, sehingga sisi harap kita akan rahmat Allah tidak terlalu tinggi sehingga bisa jadi diri kita menggantungkan harapan pada hal yang bukan hak kita, dan sebaliknya sisi kekhawatiran kita akan siksa dan keburukannya tidak menghantui diri kita lalu kita menjadi putus asa dan patah arang.


Jalan terbaik bagi kita adalah istiqamah dalam ibadah kita kepada Allah swt, dengan menggabungkan dua sisi harap dan takut, laksana dua sayap burung yang selalu seimbang dan seirama. Karena itu kita tidak mendapatkan ayat rahmat kecuali setelahnya ada ayat adzab, tidaklah Allah swt mensifati diri-Nya dengan sifat maha memberi dan pengasih kecuali setelah itu mensifati diri-Nya dengan sifat kebalikannya.


Lihatlah firman Allah swt :


نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ (50)


“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al Hijr : 49-50)



قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ

الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ


“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar : 53-54)


Kebersamaan dua sifat ini dalam ayat-ayat Al Quran adalah sebuah cerminan tarbiyah yang ideal dan seimbang.

Bahkan ketika Allah swt mendeskripsikan ahli surga, maka Allah akan ungkapkan secara gamblang sifat dan karakter utama merek, lihat firman-Nya :


كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18) وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (19)


“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz dzariyat : 17-19)


Kalau kita memabaca ayat di atas, maka kita akan mengatakan kepada diri kita, adakah sifat itu dalam diri kita. Dan ketika mendeskripsikan ahli neraka, maka Allah akan ungkapkan dengan jelas sifat dan karakter busuk mereka, Allah swt berfirman :


قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (46)


“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (QS. Al Mudatstsir : 43-46)


Kalau kita merenungkan ayat di atas, maka kita akan mengaca diri kita, ternyata diri kita tidak lebih buruk dari mereka. Kita melihat dengan jernih, diantara dua kondisi tersebut, maka yang kita lakukan adalah berharap dan cemas, kemudian lahirlah sikap kehambaan kita, lalu mendorong kita untuk membuka dua tangan kita, mengharap kepadanya dengan penuh hiba dalam doa yang khusyu.


Tuesday, August 31, 2010

I’tikaf Dan Adab-Adabnya

oleh:

Badrul Hisham bin Sulaiman (abikamil05@yahoo.com.my)


Menyebut perkataan i'tikaf mengingatkan saya kepada kenangan lama ketika saya sedang menuntut di Universiti Islam Madinah. Apa tidaknya, ketika berada di tahun akhir pengajian seorang rakan sekuliah berasal dari wilayah Pattani, Selatan Thailand, mengajak saya untuk beri'tikaf bersama beliau di Masjidil Haram Mekah, sepuluh terakhir bulan Ramadhan.


Pada mulanya saya merasa teragak-agak dan serba salah kerana tidak biasa dan tiada pengalaman, apatah lagi amalan i'tikaf yang hendak dilaksanakan akan berlangsung di Masjidil Haram. Namun setelah diyakinkan oleh beliau yang sudah ada pengalaman beri'tikaf di Masjidil Haram saya memberanikan diri.


Percubaan saya tidak sia-sia. Sesungguhnya saya merasai keseronokan beramal ibadah yang belum pernah saya rasai sebelum itu. Di dalam artikel ini, saya tidaklah berhasrat untuk menceritakan pengalaman-pengalaman yang telah dilalui selama tempoh berkenaan. Cukuplah saya nyatakan, bagi anda yang berkesempatan dan berkemampuan untuk melakukan amalan i'tikaf. Walau di mana jua anda berada, berusahalah untuk melaksanakannya kerana ia adalah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh baginda Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam walaupun hukumnya tidak wajib.


Takrif i'tikaf.


Dari segi bahasa bermaksud menahan atau berhenti. Dari segi syara' ia bermaksud berada di dalam masjid dengan niat untuk melazimkan diri di dalamnya bagi tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Ia merupakan satu ibadah yang telah lama disyariatkan. Al-Quran menunjukkan bahawa di zaman Nabi Ibrahim alaihissalam ianya sudah wujud. Firman Allah yang maksudnya:


Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia

dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim

(tempat berdiri Nabi Ibrahim ketika membina Ka'abah) tempat shalat.

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:

"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".

Al-Baqarah [2:125] .


Hukum i'tikaf.

Para ulama' sepakat mengatakan bahawa amalan i'tikaf disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang sahih. Baginda Nabi Sallallahu alaihi wasallam beri'tikaf pada setiap bulan Ramadhan iaitu pada sepuluh akhirnya. Hukumnya adalah sunat muakkadah (sunat yang sangat dituntut) pada bila-bila masa tanpa mengira di dalam bulan Ramadahan atau di luar bulan Ramadhan. Ada kalanya i'tikaf itu menjadi wajib apabila seseorang itu bernazar untuk melaksanakannya atas tujuan tertentu. Aisyah Radhiallahu anha berkata yang maksudnya:


Bahawa Nabi Sallallahu alaihi wasallam adalah beliau beri'tikaf sepuluh terakhir dari Ramadhan

sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian para isteri baginda juga beri'tikaf selepas itu

(selepas kewafatan baginda).[1]


Sekalipun amalan i'tikaf adalah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, tiada sebarang dalil sahih yang menyatakan tentang apa-apa jua fadhilat tentangnya. Berkata Imam Abu Daud: Aku berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah: Adakah kamu mengetahui apa-apa dalil tentang kelebihan i'tikaf ? Kata Imam Ahmad: Tidak, melainkan sesuatu yang lemah (riwayatnya).


Manakala i'tikaf yang wajib ialah apa yang diwajibkan oleh seseorang ke atas dirinya sendiri. Samada dalam bentuk [1] nazar mutlak, contohnya seseorang berkata: Kerana Allah Taala ke atas diriku bahawa aku beri'tikaf sekian sekian ( tempohnya). [2] nazar muallaq, contohnya seseorang itu berkata : Sekiranya Allah sembuhkan aku dari penyakit ini nescaya aku akan beri'tikaf sekian sekian. Di dalam Sahih Bukhari bahawa Nabi Sallallahu alaihi wasallam bersabda melalui hadis riwayat Aisyah yang maksudnya:


Sesiapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka Taatlah kepadaNya, sesiapa yang bernazar untuk menderhakainya maka janganlah dia derhakaiNya.[2]


Diriwayatkan bahawa Umar Al-Khattab Radhiallahu anh pernah bernazar di zaman jahiliah untuk beri'tikaf di Masjidil Haram. Setelah beliau memeluk Islam, hasrat beliau untuk beri'tikaf di Masjidil Haram disuarakan kepada Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam, maka jawab baginda: Tunaikanlah nazarmu itu, maka Umar beri'tikaf satu malam.[3]


Tempat i'tikaf.

Di antara persoalan yang sering dilontarkan oleh orang ramai tentang amalan i'tikaf ialah [1] Adakah dibolehkan i'tikaf di tempat yang bukan masjid seperti surau yang banyak kedapatan di kawasan kampung? [2] Adakah masjid-masjid yang tidak ditunaikan padanya solat Jumaat, dibolehkan kita beri'tikaf di dalamnya?


Jumhur ulama' berpendapat i'tikaf hanya dilaksanakan di masjid-masjid sahaja. Berhubung dengan permasalahan ini Sayyid Sabiq di dalam kitabnya Fiqh Al- Sunnah meperincikannya di bawah tajuk kecil: “Pandangan para fuqaha' tentang masjid yang dibolehkan beri'tikaf di dalamnya”.[4] Ia seperti berikut:

  1. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat amalan i'tikaf hanya dilaksanakan di dalam masjid yang ditunaikan padanya solat lima waktu dan solat secara berjemaah.

  2. Imam As Syafie dan Imam Malik pula berpendapat ianya sah dilaksanakan pada setiap masjid[5] tanpa mengkhususkan masjid-masjid tertentu. Namun di sisi As Syafieyah (para ulama' mazhab Syafie) yang afdhal ialah i'tikaf di dalam masjid yang ditunaikan padanya solat Jumaat. Ini kerana bilangan para jemaah di dalamnya lebih ramai. Bahkan memudahkan pihak yang beri'tikaf menunaikan solat Jumaat pada hari Jumaat tanpa keluar untuk pergi ke masjid lain.

Adakah disyaratkan orang yang i'tikaf berpuasa?

Ada tiga pendapat di kalangan ilmuan dalam persoalan ini:

  1. Adalah lebih baik bagi orang yang beri'tikaf berpuasa kerana begitulah dari segi sunnahnya. Sekiranya dia tidak berpuasa, tidaklah menjadikan apa-apa kesalahan ke atasnya. I'tikafnya dikira sah.

  2. Tidak dikira i'tikaf kecuali dalam keadaan berpuasa.

  3. Harus beri'tikaf walaupun tidak berpuasa.

Penulis cenderung kepada pendapat pertama di mana orang yang mahu beri'tikaf boleh memilih samada mahu beri'tikaf dalam keadaan berpuasa atau sebaliknya. Seandainya amalan i'tikaf itu berlaku di siang hari bulan Ramadhan maka tidak timbul soal puasa atau tidak kerana sememangnya ibadat puasa pada ketika itu adalah wajib.


Sebagai tambahan penulis memetik penjelasan Al-Imam Ibnu Al-Qayyim (w.751 H) di dalam kitab beliau Zaad Al-Maad yang cenderung kepada pendapat kedua:


Oleh kerana tujuan i'tikaf ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengasingkan jiwa dari tarikan duniawi, hanya sanya ia dapat disempurnakan dengan berpuasa. Bahkan i'tikaf disyariatkan dalam tempoh yang dikira paling utama dalam ibadah puasa Ramadhan (sepuluh hari terakhir). Dan tidaklah pernahkan dinaqalkan (apa-apa riwayat) dari Nabi Sallallahu alaihi wasallam bahawa baginda pernah beri'tikaf dalam keadaan tidak berpuasa.


Aisyah Radhiallahu anha pernah berkata: “Tidak dikira i'tikaf kecuali dalam keadaan berpuasa".[6] Allah Subhanahu Wataala juga tidak menyebut persoalan i'tikaf (di dalam Al-Qur'an) melainkan bersama dengan ibadah puasa. Bahkan Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam tidak pernah melakukannya kecuali bersama ibadah puasa.


Maka pendapat yang rajih berdasarkan dalil dan dihujjahkan oleh jumhur para salaf ialah, ibadah puasa menjadi syarat dalam melakukan amalan i'tikaf. Pendapat ini ditarjihkan oleh Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyyah (w.728 H).[7]

Dalil pihak yang berpendapat tidak disyaratkan puasa kepada orang yang beri'tikaf (pendapat ketiga) ialah hadis Ibn Abbas Radhiallahu anhuma bahawa baginda bersabda yang maksudnya:


Tiadalah kewajipan puasa ke atas yang beri'tikaf melainkan dia menjadikannya wajib ke atas dirinya.[8]


Tidak sabit dari Nabi Sallallahu alaihi wasallam sebarang dalil yang menunjukkan diperlukan berpuasa bagi sesiapa yang mahu beri'tikaf. Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan di dalam kitab beliau Al Raudhah An Nadiyyah Syarah Ad Durrul Bahiyyah memberikan pandangan:


Ketahuilah! Menjadikan sesuatu syarat bagi sesuatu yang lain, atau rukun baginya dan salah satu kefardhuan – tidaklah ianya boleh disabitkan melainkan dengan dalil kerana ianya adalah hukum syarak. Dan tidak datang sebarang dalil yang menunjukkan bahawa I'tikaf tidak boleh dilaksanakan tanpa puasa. Bahkan apa yang sabit dari Nabi ialah galakan supaya beri'tikaf.


Tidak pula ada dinaqalkan kepada kita bahawa baginda menjadikan puasa sebagai syarat untuk beri'tikaf. Kalaulah puasa itu diambil kira sebagai syarat untuk beri’tikaf sudah tentu baginda akan menjelaskannya kepada umatnya. Sekalipun i'tikaf Nabi itu dilaksanakan dalam keadaan baginda berpuasa, bukanlah menjadi satu kelaziman bahawa i'tikaf disyaratkan dalam keadaan berpuasa. Sekiranya puasa Nabi itu diambil kira sebagai syarat untuk melakukan amalan i'tikaf maka sudah tentu yang turut diambil kira ialah i'tikaf hanya boleh dilakukan di dalam masjid Nabawi (di Madinah) sahaja kerana baginda tidak pernah beri'tikaf di masjid lain.[9]


Amalan-amalan orang yang i'tikaf dan adab-adabnya.


Dengan lain perkataan, tajuk ini mengupas apakah amalan yang harus dilakukan oleh pihak yang beri'tikaf, dan apakah amalan yang tidak digalakkan mereka melakukannya?

Adalah disunatkan bagi pihak yang beri'tikaf ialah membanyakkan amalan-amalan sunat samada dalam bentuk solat, berzikir kepada Allah dengan cara bertasbih, bertahmid dan bertahlil atau membaca Al-Qur'an, berselawat dan berdo'a.[10]


Termasuk di dalam pengertian amalan-amalan diharuskan ke atas pihak yang beri'tikaf ialah mempelajari ilmu (menyertai majlis pengajian ilmu yang berlangsung di dalam masjid), mengulangkaji kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh, membaca kisah-kisah perjuangan Nabi-nabi dan orang-orang soleh terdahulu dan seumpamanya.


Adalah makruh bagi orang yang beri'tikaf meyibukkan diri dengan urusan atau perkara yang tidak penting dan berfaedah untuknya. Ini berdasarkan umum sabda Nabi Sallallahu alaihi wasallam yang berbunyi:


Di antara tanda keelokan Islam seseorang itu ialah dia meninggalkan perkara yang tidak perlu baginya.[11]


Juga dikira makruh seorang yang menahan diri dari berkata-kata (langsung tidak bercakap) atas alasan tindakan itu ialah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Sebaiknya hendaklah dia bercakap mengikut sekadar keperluan yang diperlukan olehnya.


Perkara-perkara yang harus dilakukan oleh orang yang i'tikaf.

  • Keluar dari tempat i'tikaf untuk bertemu dengan ahli keluarga yang datang menemuinya.

    Berkata Safiyyah: Adalah Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam sedang beri'tikaf, kemudian aku datang menziarahinya pada waktu malam. Aku bercakap-cakap dengannya seketika, kemudian bangun untuk beredar. Baginda turut bangun dan mengiringiku pulang. [12]

  • Menyikat rambut, mencukur kepala, memotong kuku, membersihkan badan dari kekotoran, memakai pakaian yang dan elok dan mengenakan bau-bauan yang harum.

    Kata Aisyah: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika baginda sedang beri'tikaf, dia menghulurkan kepalanya dari tingkap rumah (kerana rumah baginda bersebelahan dengan masjid), maka aku membasuh kepalanya. Aku menyikat rambutnya sedang dalam keadaan haidh.[13]

  • Keluar dari masjid kerana sesuatu keperluan ( hajat ) yang tidak boleh dielakkan .

    Kata Ibnu Sal-Munzir: Para ilmuan bersepakat bahawa orang yang beri'tikaf boleh keluar dari tempat i'tikafnya atas tujuan buang air besar dan air kecil. Atau juga dengan tujuan untuk makan dan minum sekiranya tidak ada sesiapa yang membawa makanan dan minuman kepadanya.

    Termasuklah semua perkara yang tidak mungkin dapat dilakukan di masjid, dia diharuskan keluar. I'tikafnya tidak dikira rosak selagi mana tempoh keluarnya tidak terlalu panjang. Imam Abu Daud meriwayatkan daripada Aisyah Radhiallahu anha: Bahawa Nabi Sallallahu alaihi wasallam pernah melalui di sisi orang yang sakit padahal baginda masih dalam tempoh beri'tikaf.

    Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah, bahawa menjadi sunnah bagi orang yang beri'tikaf tidak menziarahi orang sakit ialah dengan maksud tidak keluar dari tempat i'tikaf atas tujuan semata-mata untuk menziarahi orang sakit.

  • Diharuskan kepada pihak yang beri'tikaf makan dan minum di masjid dan tidur di dalamnya.

    Cuma hanya perlu diberi perhatian dalam aspek menjaga kebersihan. Bahkan dibenarkan juga melakukan apa jua bentuk akad (seumpama akad nikah dan juga akad jual beli) selama dalam tempoh beri'tikaf.

Perkara-perkara yang membatalkan i'tikaf.

  • Keluar dari masjid secara sengaja tanpa sebarang keperluan .

  • Murtad – keluar dari agama Islam.

  • Hilang akal (gila) atau mabuk. Perempuan yang didatangi haidh dan nifas.

  • Bersetubuh. Perbuatan jimak antara suami dan isteri haram dilakukan di masjid. Maksud bersetubuh di sini seorang yang sedang beritikaf keluar dari tempat i'tikaf kerana satu keperluan yang tidak dapat dielakkan, kesempatan keluar sekejap dari masjid digunakan untuk melakukan persetubuhan dengan isterinya. Firman Allah :

Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Al-Baqarah [2:187].


Seorang yang sedang beri'tikaf dibenarkan bersentuhan dengan isterinya dengan syarat tanpa keinginan (syahwat). Manakala berhubung dengan perbuatan mencium (isteri) dan menyentuhnya dengan rasa keinginan (syahwat, para ilmuan berselisih kepada dua pendapat :


    • 1. I'tikafnya tidak batal, cuma pihak berkenaan dikira telah melakukan sesuatu yang tidak baik yang berkemungkinan akan menjerumuskan dirinya kepada perbuatan yang merosakkan i'tikafnya.

    • 2. I'tikafnya batal.

Qadha' i'tikaf.


Seseorang yang melakukan I'tikaf sunat, kemudian memutuskannya, diharuskan baginya untuk mengqadha' i'tikafnya itu. Berikut perincian secara ringkas dari pendapat para ilmuan dalam masalah ini :

  1. Wajib dia mengqadha i’tikafnya.

  2. Sekiranya i'tikaf itu bukan i'tikaf yang dinazarkannya, maka tidak ada apa-apa yang wajib ke atasnya sekiranya i'tikaf itu dihentikannya.

  3. Sesiapa yang merosakkan i'tikaf yang ditunaikan atas sebab sesuatu nazar, maka wajib baginya mengqadha' i'tikafnya itu. Sekiranya dia meninggal sebelum sempat ditunaikan i'tikaf yang dinazarkan itu, maka tidak perlu diqadha oleh pihak walinya (ahli keluarganya) kecuali satu pendapat dari Imam Ahmad Rahimahullah yang mengatakan wajib bagi pihak wali mengqadha' i'tikaf yang dinazarkan itu.

Bernazar i'tikaf di dalam masjid tertentu.


Sesiapa yang bernazar untuk beri'tikaf di dalam Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsa, maka wajib ke atasnya menunaikan nazar berkenaan di dalam masjid yang telah dia tetapkan. Ini berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam :


Janganlah kamu memanjangkan perjalanan melainkan kepada tiga buah masjid:

Al-Masjid Al-Haram, Masjid Al-Rasul Shallallahu alaihi wasallam dan Masjid Al-Aqsa.[14]


Manakala sesiapa yang bernazar untuk beri'tikaf di dalam mana-mana masjid selain dari tiga masjid yang tersebut di atas, maka tidaklah wajib ke atasnya beri'tikaf di dalam masjid yang telah dia tentukan.[15] Bahkan memadai dia melaksanakan i'tikaf berkenaan di dalam mana-mana masjid yang dia kehendaki.


Ini kerana Allah Taala tidak menjadikan tempat yang tertentu secara khusus bagi urusan ibadat itu. Hal demikian juga menggambarkan bahawa sesebuah masjid tidak mempunyai apa-apa kelebihan (fadhilat) berbanding masjid lain selain tiga masjid yang disebut dalam hadis berkenaan. Telah sabit dari Nabi Shallallahu alaini wasallam bahawa baginda ada bersabda :


Satu ibadat solat yang ditunaikan di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik (ganjaran pahalanya)

dari seribu solat di dalam masjid selainnnya kecuali Al-Masjid Al-Haram.[16]


Sekiranya seseorang itu bernazar untuk beri'tikaf di Al-Masjid Al-Nabawi, adalah harus baginya beri'tikaf di Al-Masjid Al-Haram kerana Al-Masjid Al-Haram lebih afdhal.[17]



[1] Sahih: Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 2026

[2] Sahih: Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 6696

[3] Sahih: Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 2042

[4] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Dar Al-Kitab Al-Arabi, ms. 421.

[5] Perkataan "semua masjid" datang secara umum, bermaksud masjid yang ditunaikan padanya solat Jumaat atau masjid yang tidak ditunaikan di dalamnya solat Jumaat, surau-surau, masjid bersaiz kecil atau bersaiz besar, musolla juga termasuk tempat yang dibolehkan i'tikaf di dalamnya.

[6] Sanad Kuat: Dikeluarkan oleh Abdul Razzak dalam Musannaf, no: 8037 dengan sanad yang qawiy (kuat). Demikian nilai para penyemak Zaad Al-Maad: Syu‘aib al-Arna‘uth dan Abdul Qadir al-Arna‘uth.

[7] Ibnu Al-Qayyim Al- Jauziyyah, Zaad Al-Maad, Muassassah Ar-Risalah, jilid 2, ms. 87-88.

[8] Sanad Dhaif: Dikeluarkan oleh Ad Daraqutni dalam Sunannya, no: 2330 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no: 1555. Sanadnya dha‘if kerana salah seorang perawinya yang majhul. Rujuk keterangan Majdi bin Manshur dalam semakannya ke atas Sunan Ad Daraqutni.

[9] Ar Raudah An Nadiyyah, Maktabah Al-Kauthar, Riyadh, jlid 1, ms. 572.

[10] Amalan-amalan seperti berzikir dan membaca Al-Qur'an perlu dijaga adab-adabnya. Iaitu janganlah terlalu ditinggikan suara ketika bertasbi , bertahlil atau membaca Al-Qur'an kerana dikhuatiri akan mengganggu orang-orang lain di dalam masjid. Cara sedemikian lebih menepati perintah Allah di dalam ayat:

Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Maksud surah Al-A'raaf [7: 205].

Terdapat sesetengah pihak yang gemar berzikir secara berjemaah dengan suara yang serentak dan berirama (berlagu). Kaedah berzikir dengan cara sebegini tidak sabit dari amalan Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Orang yang melakukan hanya bertindak mengikut selera sendiri dan bukannya mengikut dalil yang disyariatkan dalam agama.

[11] Sahih: Dikeluarkan oleh Tirmizi dan dinilai Sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmizi, no: 2317.

[12] Sahih: Dikeluarkan oleh Muslim. no: 2175.

[13] Sahih: Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 2028.

[14] Sahih : Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 1189.

[15] Contohnya: Ahmad bernazar untuk melaksanakan i'tikafnya di dalam masjid Negara Kuala Lumpur. Namun dia dikira sudah melaksanakan i'tikafnya itu walaupun ia berlangsung di dalam masjid berhampiran rumah dan bukannya di masjid Negara. Jadi tidaklah perlu dia bersusah payah ke Kuala Lumpur untuk menunaikan nazar berkenaan.

[16] Sahih: Dikeluarkan oleh Bukhari, no: 1190.

[17] Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah , jilid 1, ms. 428.


source: http://www.hafizfirdaus.com/ebook/Amalan%20Ramadhan/12.htm

Thursday, August 19, 2010

Memory 1001 rasa...

Berseorangan di kedai dan mengulang-ulang nasyid “Elayka” cukup buat hati tersentuh. Sentiasa bermuhasabh diri, cukupkah bekalan diri ini untuk menghadap Zat Yang Maha Mencipta, Zat yang Memberikan Rezeki dan Hidayah…

Entah mengapa, ujian yang Allah timpakan akhir-akhir ni cukup buat hati sedikit tersentak dan kalaulah tidak kuat iman di hati, mahu sahaja lari… Astaghfirullah… rapuh sungguh jiwa. Rapuh sungguh tekad yang dibaja bertahun-tahun…

Kemahiran menganalisa dimanfaatkan waktu ini. Walaupun saya bukanlah penganalisa yang baik, tapi sekurang-kurangnya bila iman sendiri futur (Mutarabbi apatah lagi?) muhasabah diri di samping memanfaatkan ilmu tentang taqwa yang ditelaah drpd buku Tarbiyah Ruhiyah, tulisan Dr. Abdullah Nashih Ulwan. Ramadhan ni… apalagi? I’tikaf..i’tikaf…

Cukup… kalau terlalu larut dengan perasaan, natijahnya adalah lebih parah. Buku berlambak-lambak atas meja ni, perlu dimanfaatkan. Kini sedang mengulangkaji buku “Marilah berkenalan dengan Ahl-Sunnah wa al-Jamaah” tulisan Kapten Hafiz Firdaus Abdullah, yang juga suami kepada sahabat saya. Saya tak sempat lagi berterima kasih kepada sahabat saya yang menghadiahkan buku ni. Haritu baca, tak sempat khatam lagi. Teringin sangat-sangat-sangat bertalaqqi. Baca buku saja buat jiwa kering… betul kan?

Seronok juga menjadi business woman. Walaupun cabarannya tidak nampak dengan mata kasar, tetapi ia cukup menguji mental dan fizikal. Baru-baru bukak kedai ni, biasalah… keuntungan tak seberapa (eh, adake untung?) Belum lagi… tapi kena buat betul-betul. Dulu kat university amik course minor Management, 4 subjek yang saya rasa sangat bermanfaat, especially Accountancy, Operations Management dan Organizational Behavior. Oh, mungkin saya silap sebab tak amik Marketing. Subjek paling penting untuk application. Tapi tak mengapa, saya belajar marketing melalui orang-orang yang banyak pengalaman, insyaAllah. Sekarang saya kena buat target jualan sebulan dan misi saya adalah untuk mengejar target jualan tersebut. Caranya? Biarlah saya seorang yang tahu. Nak bantu? Alhamdulillah, belilah produk HPA daripada saya. InsyaAllah saya bleh usahakan pos =P

Rasa macam mimpi, sebab saya sekarang memegang gelaran akhawat pekerja… Subhanallah, 4 tahun yang berlalu dirasakan sangat cepat berlalu. Rasa seperti baru kelmarin masuk kilang F&N untuk latihan industry, pengalaman mencari sendiri rumah untuk diduduki. Pusing-pusing satu KL untuk cari jalan ke rumah. Bukan tahu jalan sangat, tapi Alhamdulillah waktu tu ayah ada kursus di KL dan saya ikut sekali. Ayah dok kursus, saya jalan-jalan. Dari KL, cari jalan ke Federal Highway, PJ, then pusing-pusing sebelum sampai Kelana Jaya. Sebelum tu memang dah dapat alamat rumahnya melalui internet. Banyak jugalah rumah yang saya call, tapi semuanya ada masalah. Yang teruk tu, ada satu rumah yang saya call, depa kata duduk antara non-Muslim, saya ok lagi, tapi dalam perjalanan ke rumah tu, dia bagitau bercampur pulak lelaki & perempuan, memang saya tak bleh toleransi la. Reject terus…

Alhamdulillah, saya sangat-sangat terharu dengan kurniaan Allah. Bila saya call satu rumah di Kelana Jaya, dan saya berjumpa dengan budak yang nak sewa sama dengan saya, dan kami setuju dengan deal masing-masing. Dia sebaya saya, belajar di kolej masakan kat KJ tu (saya tak ingat kolej apa)… dan kakak yang memang duduk rumah tu takda masalah dengan kedatangan saya. Mereka memang baik. Allahu Akhbar, Allah melindungi saya daripada orang-orang yang merosakkan dan mempertemukan saya dengan orang-orang baik. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan kebaikan yang banyak kepada Linda dan Kak Faz. Ameen. Doakanlah juga untuk mereka =)

Pengalaman duduk di KL memang memberi banyak hikmah kepada tsaqafah dan iman saya. [Alhamdulillah, dah cekap dengan jalan-jalan kat KL]… Dikelilingi masyarakat “red zone” – jauh dari tarbiyah dan penghayatan Islam, apatah lagi saya duduk jauh dari akhawat, jauh dari keluarga dan tak siapa pun yang saya kenal duduk berhampiran dengan saya. Subhanallah, memang ujian Allah mengenai tepat pada hamba-hambaNya… Mungkin sebab itu, saya sangat menghargai dan memegang kuat apa yang diamanahkan kepada saya. Halaqah mingguan, halaqah downline, program-program dakwah setiap weekend dan setiap waktu saya habiskan dengan perkara-perkara yang mengingatkan saya tentang Allah. Sukar nak digambarkan betapa saya sangat menghargai detik itu.

Di tempat kerja pula (PML QC), saya dikelilingi staf-staf melayu Muslim yang baik hati, majoriti lelaki. Kalo ikutkan F&N ni, Top Management majority adalah cina. Meka kuat kerja. Staf-staf di bawah banyak yang melayu, eksekutif pun ramai cina, melayu biasa-biasa saja. Mereka gelar saya ‘ustazah’ kerana penampilan saya. Tak kisah pun sebab mereka ni ramai pangkat pakcik-pakcik. Kadang-kadang kalo borak-borak layan jugaklah, untuk mengelak dikatakan ‘bodoh sombong’… Dalam keadaan begitu, kadang-kadang saya akan menyelitkan ‘tazkirah’ pendek. Macam cerita Palestin, kisah-kisah sirah. Walaupun tak banyak, tapi saya kira memadai dengan kesibukan mereka dan focus mereka. Bahkan kadang-kadang kalau bukan saya pun yang memulai, mereka yang akan mula dengan bertanya sesuatu… Dakwah masyarakat…bukan macam dakwah kampus atau sekolah, atau matrikulasi. Kena betul dengan gaya dan caranya. Saya belajar…

Kini saya memanfaatkan kelebihan yang Allah berikan dengan dakwah masyarakat di sini pula. Bukak kedai, makcik-makcik datang. Ajak datang rumah mereka untuk bertadarus. Ingatkan datang untuk belajar mengaji, tapi nampaknya saya yang mengajar mengaji…(adei)… Alhamdulillah, Allah membukakan jalan sedikit demi sedikit…

Wah…saya nak balik kampong!!……

……..

Wassalam…

 

Text