Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, October 30, 2010

10 CIRI KADER ANDALAN

Ada ungkapan yang mengatakan, “yang tidak memiliki tak kan bisa memberi”.
Bagi seorang kader dakwah, ungkapan itu menggambarkan perlunya membentuk karakter yang memungkinkannya menjadi salah satu motor penggerak dakwah. Ini pula yang akan membedakannya dengan orang kebanyakan. Agar ia selalu bisa ’memberi’ di tengah kekacauan umat.

1. Salimul Aqidah (aqidahnya bersih)
Akidah adalah asas dari amal. Amal-amal yang baik dan diridhai Allah lahir dari aqidah yang bersih. Dari sini akan lahir pribadi-pribadi yang memiliki jiwa merdeka, keberanian yang tinggi, dan ketenangan. Sebab, tak ada ikatan dunia yang mampu membelenggunya, kecuali ikatan kepada Allah swt. Seorang kader dakwah yang baik akan selalu menjaga kemurnian aqidahnya dengan memperhatikan amalan-amalan yang bisa mencederai keimanan dan mendatangkan kemusyrikan. Sebaliknya, selalu berusaha melakukan amalan-amalan yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.
Aplikasi: Senantiasa bertaqorrub (menjalin hubungan) dengan Allah, ikhlas dalam setiap amal, mengingat hari akhir dan bersiap diri menghadapinya, melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, dzikrullah di setiap waktu dan keadaan, menjauhi praktik yang membawa pada kemusyrikan.

2. Shahihul Ibadah (ibadahnya benar)
Ibadah, wajib dan sunnah, merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Allah swt. Kedekatan seorang hamba ditentukan oleh intensitas ibadahnya. Ibadah menjadi salah satu pintu masuk kemenangan dakwah. Sebab, ibadah yang dilakukan dengan ihsan akan mendatangkan kecintaan Allah swt. Dan kecintaan Allah akan mendatangkan pertolongan.
Aplikasi: Menjaga kesucian jiwa, berada dalam keadaan berwudhu di setiap keadaan, khusyu dalam shalat, menjaga waktu-waktu shalat, biasakan shalat berjamaah di masjid, laksanakan shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dengan bacaan yang baik, puasa Ramadhan, laksanakan haji jika ada kesempatan.

3. Matinul Khuluq (akhlaqnya tegar)
Seorang kader dakwah harus ber-iltizam dengan akhlaq islam. Sekaligus memberikan gambaran yang benar dan menjadi qudwah (teladan) dalam berperilaku. Kesalahan khuliqiyah pada seorang kader dakwah akan berdampak terhadap keberhasilan dakwah.
Aplikasi: Tidak takabur, tidak dusta, tidak mencibir dengan isyarat apapun, tidak menghina dan meremehkan orang lain, memenuhi janji menghindari hal yang sia-sia, pemberani, memuliakan tetangga. Bersungguh-sungguh dalam bekerja, menjenguk orang sakit, sedkit bercanda, tawadhu tanpa merendahkan diri.

4. Qadirul’alal Kasb (kemampuan berpenghasilan)
Kita mengenal prinsip dakwah yang berbunyi ”shunduquna juyubuna (sumber keuangan kita dari kantong kita sendiri)”. Yang berarti setiap kader harus menyadari bahwa dakwah membutuhkan pengorbanan harta. Oleh karena itu setiap kader dakwah harus senantiasa bekerja dan berpenghasilan dengan cara yang halal. Tidak menjadikan dakwah sebagai sumber kehidupan.
Aplikasi: Menjauhi sumber penghasilan haram, menjauhi riba, membayar riba, membayar zakat, menabung meski sedikit, tidak menunda hak dalam melaksanakan hak orang lain, bekerja dan berpenghasilan, tidak berambisi menjadi pegawai negeri. Mengutamakan produk umat Islam, tidak membelanjakan harta kepada non-muslim.

5. Mutsaqaful Fiqr (pikirannya intelek)
Intelektualitas seorang kader dakwah menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah. Sejarah para nabi juga memperlihatkan hal itu. Kita melihat bagaimana ketinggian intelektualitas Nabi Ibrahim, dengan bimbingan wahyu, mampu mematahkan argumentasi Namrud. Begitu pula kecerdasan Rasul dalam mengemban amanah dakwahnya, sehingga ia digelari fathonah (orang yang cerdas).
Aplikasi: Baik dalam membaca dan menulis. Upayakan mampu berbahasa Arab, menguasai hal-hal tertentu dalam masalah fiqih seperti shalat, thaharah dan puasa, memahami syumuliatul Islam, memahami ghazwul fikri, mengetahui problematika kaum nasional dan internasional, menghafal al-Qur’an dan hadits, memiliki perpustakaan pribadi sekecil apapun.

6. Qawiyul Jism (fisiknya kuat)
Beban dakwah yang diemban para kader dakwah sangat berat. Kekuatan ruhiyah dan fikriyah saja tidak cukup untuk mengemban amanah itu. Harus ditopang oleh kekuatan fisik yang prima. Sejumlah keterangan al-Qur’an dan Hadits menjelaskan betapa pentingnya aspek ini.
Aplikasi: Bersih pakaian, badan dan tempat tinggal, menjaga adab makan dan minum sesuai dengan sunnah, berolahraga, bangun sebelum fajar, tidak merokok, selektif dalam memilih produk makanan, hindari makanan/minuman yang menimbulkan ketagihan, puasa sunnah, memeriksakan kesehatan.

7. Mujahidu Linafsihi (bersungguh-sungguh)
Bersungguh-sungguh adalah salah satu ciri orang mukmin. Tak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa kesungguhan. Kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat, dan kehidupan abadi adalah kehidupan akhirat, akan melahirkan kesungguhan dalam menjalani kehidupan.
Aplikasi: Menjauhi segala yang haram, menjauhi tempet-tempat maksiat, memerangi dorongan nafsu, selalu menyertakan niat jihad, hindari mengkonsumsi yang mubah, menyumbangkan harta untuk amal islami, menyesuaikan perkataan dengan perbuatan, memenuhi janji, sabar, berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

8. Munazham fi syu’unihi (teratur dalam semua urusannya)
Seorang kader dakwah harus mampu membangun keteraturan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya agar bisa menghadapi persoalan umat yang rumit dan kompleks.
Apalikasi: Memperbaiki penampilan, jadikan shalat sebagai penata waktu, teratur di dalam rumah dan tempat kerjanya, disiplin dalam bekerja, memprogram semua urusan, berpikir secara ilmiah untuk memecahkan persoalan, tepat waktu dan teratur.

9. Haritsun ’ala waqtihi (efisien menjaga waktu)
Untuk menggambarkan betapa pentingnya waktu, ada pepatah mengatakan ”waktu ibarat pedang”. Bila tak mampu dimanfaatkan maka pedang waktu akan menebas leher kita sendiri. Seorang kader harus mampu seefektif mungkin memanfaatkan waktu yang terus bergerak. Tak boleh ada yang terbuang percuma.
Aplikasi: Bangun pagi, menghabiskan waktu untuk belajar, mempersingkat semua urusan (tidak bertele-tele). Mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, tidak tidur setelah fajar.

10. Nafi’un Lighairihi (berguna bagi orang lain)
Rasul menggambarkan kehidupan seorang mukmin itu seperti lebah yang akan memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya. Kader dakwah memberi manfaat karena setiap ucapan dan gerakannya akan menjadi teladan bagi sekitarnya.
Aplikasi: Melaksanakan hak orang tua, ikut berpartisipasi dalam kegembiraan, membantu yang membutuhkan, menikah dengan pasangan yang sesuai, komitmen dengan adab Islam di dalam rumah, melaksanakan hak-hak pasangannya (suami-istri), melaksanakan hak-hak anak, memberi hadiah pada tetangga, mendo’akan yang bersin.


source: deddy24.multiply.com/journal/item/6

Buah Manis dari Sebuah Kesabaran

Oleh Mira Kania Dewi

Aku mengenalnya empat tahun silam. Usianya terpaut empat tahun lebih muda dariku. Sebut saja Melati (bukan nama sebenarnya). Kami pertama bertemu saat bersama-sama melakukan tadabbur alam ke pantai Rayong bersama komunitas muslim Indonesia lainnya di Negeri Siam.


Melati menikah di tahun yang sama dengan pernikahanku (tahun 1995). Pernikahannya tergolong muda di jaman seperti sekarang ini. Aku menikah di usia 24 tahun, berarti tentunya Melati menikah di usia 20 tahun.


Sejak mengenalnya aku banyak belajar hal-hal baru yang tentunya bernilai positif. Banyak keunggulan yang dimiliki Melati sebagai seorang wanita sekaligus seorang istri. Walaupun usianya masih muda namun pengetahuannya sangat luas. Selain ia sudah menyandang gelar S2 dan menguasai berbagai bahasa asing, Melati juga pandai mengaji dan memiliki pemahaman yang baik tentang Islam. Tak heran, ia menjadi salah satu ustadzahku dalam menimba ilmu agama.


Tak hanya itu, Melati juga seorang yang sangat bersahaja, mandiri, dan seorang wanita yang kuat dalam menjalani hidup. “Tiada seorangpun yang dapat kita sandarkan termasuk suami, ayah, ibu atau kakak dan adik, kecuali Alloh,” sahutnya lirih kepadaku saat ia menghadapi cobaan hidup.


Persahabatan kami tak hanya seputar murid dan guru, Melati juga menjadi partnerku dalam bermain badminton di akhir pekan. Kami mempunyai tujuan yang sama, ingin menjaga kesehatan dan stamina tubuh.


Satu hal yang membedakan kami berdua, aku telah meraih gelar “ibu” sedangkan Melati masih berjuang mendapatkannya. Melati bercerita, berbagai ikhtiar telah dilakukannya sejak awal pernikahannya termasuk usaha bayi tabung. Namun akhirnya ia harus menelan kekecewaan saat mengalami keguguran di usia kehamilan satu bulan.


Entah satu dan lain hal yang aku sendiri tak tahu pasti, Melati berkata bahwa keguguran yang ia alami mengharuskannya menjalani operasi di perutnya. Maka sejak saat itu pula perutnya mengalami gangguan. Pihak rumah sakit di Negara Hitler tempat dahulu ia bermukim di sana, menyatakan bahwa Melati tak mungkin bisa hamil dan mendapatkan keturunan. Kejadian itu terjadi lebih dari 10 tahun silam. Melati berduka, pupus sudah asa menjadi seorang ibu dan menimang buah hati di pangkuannya. Namun ia tetap berusaha untuk tetap tegar dan selalu riang.


Seiring dengan kepindahannya ke Negeri Gajah Putih, suatu hari sempat aku utarakan kepada Melati agar ia mencoba untuk berobat lagi untuk mendapatkan keturunan.


“Setahuku, sudah cukup banyak lho orang-orang Indonesia yang berhasil mendapatkan keturunan di sini,” sahutku.


“Iya, sebetulnya aku sudah ada niat berobat lagi. Nanti deh kalau sedang agak longgar waktunya,” begitulah kurang-lebih jawaban Melati kepadaku. Tak sepertiku, Melati adalah seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan besar sehingga hari-harinya sudah disibukkan dengan bekerja seharian di kantor. Sehingga akhir pekan menjadi sangat berharga baginya untuk melepaskan lelah sekaligus tetap mengurusi urusan rumah tangga lainnya. Jadwal yang cukup padat buat Melati.


Lama kami tak berjumpa. Dalam sebuah pengajian akbar di KBRI, aku bertemu lagi dengan Melati. Tiba-tiba di akhir acara, ia menghampiriku dan dengan sedikit berbisik ia berseru,” Mbak, aku hamil!”.


“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 16 : 96)


Aku terharu mendengarnya. Subhanalloh! Sahutku sambil memeluknya. Mataku sedikit berair. “Jaga kesehatan ya, Melati,” lanjutku kemudian. Pernyataan dokter tentang ketidakmampuannya memberikan keturunan terbukti keliru. Memang, jika Alloh sudah berkehendak maka tak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya.


Kegiatan bermain badminton di akhir pekan tak dapat lagi dilakukannya. Sejak saat itu kami menjadi lebih jarang bertemu. Melati harus menjaga kesehatan dan kehamilannya dengan baik. Belum lagi, ia harus berjuang melawan rasa mual yang menjadi-jadi di awal kehamilan. Namun itulah anugerah yang tiada terkita buat kami, para ibu. Ya, itulah kenikmatan yang hanya diberikan oleh wanita-wanita pilihan-NYA kala memegang amanah untuk menjadi seorang ibu.


Tak terasa empat bulan berlalu. Semua tampak lancar-lancar saja. Namun suatu siang, aku dikejutkan oleh berita via sms tentang kehamilan Melati. Melati mengalami pendarahan. Astagfirullohal’adzim, semoga Melati dan bayinya diberikan kekuatan, kesehatan, dan keselamatan, jeritku dalam hati.


Alloh Hafidz, bayi dalam kandungannya dinyatakan sehat wal’afiat. Melati boleh pulang ke rumah dengan syarat harus tetap bed rest (istirahat di tempat tidur). Tak terbayangkan bagaimana besarnya pengorbanan yang dilakukan Melati dan berjuta-juta wanita lainnya selama masa kehamilan. Maka sudah sepantasnyalah predikat “surga di bawah telapak kaki ibu” disandang oleh wanita-wanita pilihan termasuk Melati.


Dua hari kemudian aku menjenguknya di rumah. Rupanya Melati mengalami plasenta yang letaknya di bawah (plasenta previa) sehingga akan terjadi pendarahan jika ia melakukan suatu aktivitas. Kulihat Melati berbaring tak berdaya di atas tempat tidur. “Sabar ya, Melati. Beginilah kalau menjadi ibu. Harus siap berkorban kapan saja, di situlah letak surganya,” sahutku perlahan. Aku yakin, Melati pasti lebih paham tentang hal ini daripada aku.


“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)...” (QS 46 : 15).


“Do’akan kami ya, Mbak. Aku sangat bersyukur dan bahagia sekali sudah bisa merasakan hamil dan sampai ke tahap seperti ini,” ujarnya sambil berusaha tersenyum. Tanpa ia jelaskan, aku sudah mafhum betapa bahagianya ia menyambut buah hatinya. Foto-foto hasil USG (ultra sono grafi) dipajang di dinding kamar Melati bersebelahan dengan tempat tidurnya. Belum lagi, berbagai literatur yang dibaca Melati untuk mempersiapkan kehadiran jabang bayi.


Melati menceritakan kejadian yang telah dialaminya malam itu. Sekitar pukul 12 malam ia terbangun dari tidur dan terkejut menemukan seprai tempat tidurnya berlumuran darah segar. Meski takut dan bingung, Melati berusaha berjalan perlahan dituntun sang suami menembus gelapnya malam mencari sebuah taksi menuju rumah sakit.


Ah, sudah tiga buah taksi yang ia hentikan di pinggir jalan namun tak satupun yang mau mengantarnya ke rumah sakit. Melati panik dan gelisah. Melati lupa, bahwa hari itu adalah hari terakhir masih berlakunya jam malam akibat konflik politik yang sedang melanda Negeri Gajah Putih saat itu. Sesuai aturan yang berlaku, tidak boleh ada yang keluar rumah saat jam malam diberlakukan (24.00-04.00). Jadi itulah sebabnya mengapa beberapa taksi tak bersedia mengantarnya. Allohu Akbar!


Do’a seorang wanita hamil, diijabah oleh Alloh dan di’amin’kan oleh beribu-ribu malaikat. Alhamdulillah, Alloh Maha Penolong, akhirnya taksi ke-4 bersedia mengantarnya menuju rumah sakit.


Singkat cerita, empat bulan berlalu sejak aku meninggalkan Negeri Siam untuk berhijrah pulang ke tanah air tercinta. Tiga hari lalu, aku kembali dikejutkan oleh berita tentang Melati. Namun kali ini berita gembira yang aku dapat dari sms telepon genggamku. Alhamdulillah, Melati telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat wal’afiat melalui operasi caesar.


Melati, kuucapkan selamat atas kelahiran buah hatimu yang telah engkau dambakan dan engkau tunggu 15 tahun lamanya. Aku turut bahagia. Aku do’akan dari jauh, semoga anakmu menjadi anak yang sholeh, yang menjadi penyejuk hati ayah-bundanya.
Melati, akhirnya gelar “ibu” berhasil kau raih. Betapa mulianya derajat itu sehingga patut kita syukuri bersama. Tak semua wanita mendapatkan gelar yang indah itu. Kau layak mendapatkannya. Semua itu adalah buah manis dari Yang Maha Penyayang dari kesabaran dan keihklasanmu selama ini.


Melati, semoga suatu hari nanti kita dapat bertemu kembali dan berkenalan dengan permata hatimu. Kelak kau akan menyadari betapa nikmat dan bahagianya menjadi seorang ibu seperti yang aku rasakan.


Wallohua’lam bishshowaab.

(mkd/bintaro/19.10.10)


source: www.eramuslim.com

Saturday, October 23, 2010

Worried, anxious, eager...

Bismillahi walhamdulillah...

?????

Dunno why, but plz don't make any wrong perception. Many things mixed up in my mind, at the same time, I have many plans to make in order to achieve my big dream...

Duhai adik-adikku yang dikasihi kerana Allah,
Di kala dirimu jauh dari diri ini, dan tak tertanggung rasanya menahan perasaan dan kasih kerana Allah. Kerisauan diriku tatkala menerima berita yang dirimu kini tidak menerima tarbiyyah dengan baik... Perasaan bersalah yang menghurung tatkala dirimu mengadu tidak mempunyai bi'ah Islam yang dapat membantu meningkatkan keimanan kepada Allah... Juga ketidakkeruan hati ini bila mendapat balasan sms-sms rindu...

Aduhai adik-adikku yang dirindui kerana Allah,
Bukan diri ini tidak mahu. Jika Allah memberikan aku 100 kudrat, mahu sahaja ku beri satu seorang. Jelajah satu negara untuk menyampaikan ilmu-ilmu keislaman kepada adik-adik yang dahulu pernah bersama suka dan duka, pernah bersatu menjayakan amanat-amanat Islam. Subhanallah, adik-adikku. Walaupun kini aku disibukkan dengan tugasan-tugasan dan amanah-amanah baru, tetapi percayalah bahawa kerisauan dan ingatan diriku buat dirimu tidak pernah luput dan sentiasa sahaja diri ini mencari peluang untuk bertemu kembali satu hari nanti, insyaAllah...

Tetaplah bersabar dengan keimanan. Jadikan Allah tempat utama untuk mengadu segala permasalahan, mudah-mudahan Dia memberikan kekuatan dan jalan keluar untuk segala kesulitan tersebut...

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang-orang apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)Ku dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran..." (Surah Al-Baqarah,2:186)

"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar..." (Surah Al-Baqarah, 2: 153)

Just pouring out my special feelings for my sisters in their first year of study at the university all over the country. Dearie sisters, May Allah guide you always in His Rahmah n Love =)

Pray to Allah Always, may He grants us for our next meeting,insyaAllah.
Uhibbukum fillah... =)
Wassalam

p/s: Specially dedicated to my sisters all over the world =)

Wednesday, October 06, 2010

The Miracle Of Talking birds 1

The Physical Formation of Sound in Birds

You might assume that in order for a parrot to be able to imitate the human voice-to use a person's same spoken words, stresses and pronunciation-they must possess a larynx whose structure is similar to a human's. However, the structure of the human larynx bears no resemblance to these creatures' physical structures. The larynx, vocal cords, tongue, lips, palate and teeth that humans use in speech are completely different in birds, and some do not exist at all. But even though all birds lack these structures, still these species can reproduce phrases spoken by humans-and in the same tones. If we consider that a person without a tongue is unable to speak or that we lose our voice if the vocal cords are damaged, it's also worth considering that parrots, budgerigars, and mynahs, members of the crow family, have completely different physical characteristics which nevertheless enable them to talk in the same way as humans.

There are other differences between the systems that humans and birds use to produce vocal sounds. We produce most sounds d by expelling air from the lungs through the larynx. Different sounds are created, according to the degree of vibration of the vocal cords. The position of the tongue and lips and the flow of air through the mouth or nasal cavity are only a few of the many other factors affecting sound production. The pharynx, found in humans, lets the tongue divide the vocal tract above the larynx into two cavities with their own distinct resonances. Where these resonances occur, the overtones of the frequencies (or number of vibrations) from the vocal cords are amplified. Formants (from the Latin formare: to shape, or form) are resonant frequencies of the vocal tract, the natural shapes that air assumes in the vocal passage. When you make a consonant, for example, this has an effect on the formants of the neighbouring vowels, raising or lowering formants as the vowel sound gets closer to the corsonant. Experiments have shown that two formants are sufficient in order to differentiate speech sounds from each other. 5

Birds have no larynx similar to a human's, but do have a special vocal organ, known as the syrinx, that enables them to produce sounds. In birds, air from the lungs passes through this organ. In a sense, the bird's syrinx is the equivalent of our human larynx. One of the principal differences is that in humans, our vocal cords are positioned closer to the windpipe. So far, the fact that the bird's syrinx is deep inside the body has prevented scientists from obtaining a complete answer as to how birds produce sound. Scientists have filmed birds using infra-red and x-ray cameras, and have made close studies of their song and speech by means of fiber-optic microscopes inserted in their throats. Yet we still cannot explain the physical process by which birds produce song and imitate sounds.

Within the bird's breast, its vocal organ is like a branched instrument, located at where its voice box meets the two bronchial tubes. As shown on the adjacent page, one branch of the syrinx opens into one bronchus and the second branch into the other; and either one of these two bronchi can produce sound. Some birds can use either both sides of their voice organ simultaneously, or one of the two independently and, by this means, can produce two separate tones of the same frequency, at the same time. They can sing a high note with one side, while producing a low note with the other. And since the bird's vocal organ is situated at the juncture of the two bronchial tubes, it can produce sound from two different sources. This even allows the bird to produce two different notes simultaneously, and even to sing a duet with itself. To a great extent, sounds produced here are subsequently combined, giving birds the potential of creating rich melodies. While humans use only about 2% of the air they inhale to produce sound, birds have the ability to use it all.6

The syrinx is located in a pouch within the clavicle below the bird's throat. The membrane covering this pouch is sensitive to the air coming from the lungs, and its elasticity and complexity of the membrane are factors that determine the quality of sounds. The sound quality is also affected by the length of the windpipe, the constriction of the voice box, the neck muscles, structure of the beak, and their respective movements. In short, the complexity of the birds' syrinx determines the complexity of the sounds they produce. Its muscles affect the air flow and consequently, the quality of the sound. In parrots, budgerigars, and some songbirds, the syrinx has a greater number of muscles, and its structure is more complex.

Furthermore, the different techniques that parrots and budgerigars employ for imitating the human voice are most effective. Like humans, parrots have thick tongues that enable them to produce sounds resembling ours. Sound is produced by blowing air through two separate places in their syrinx, and at the same time producing the independent sounds required to produce consonants. The initial sound from the syrinx is shaped with the help of the throat, and then in the mouth with the tongue. In their research studies with grey parrots, Dianne Patterson and Irene Pepperberg reached important conclusions on vowel production: Due to the radically different anatomy of this parrot's vocal organ, even though they lack teeth and lips, they can produce sounds that closely resemble sounds produced by humans.7 Indeed, parrots and budgerigars can quite clearly imitate sounds such as "m" and "b," which we normally produce with the help of our lips.

Budgerigars, however, due to their small size, are not able to use the same technique as parrots. Using their syrinx to create frequencies from 2,000 to 3,000 Hz, they then add on a second vibration. This system is known as frequency modulation or FM, the principle behind the AM (amplitude modulation) radios to be found in practically every home. These days, many FM broadcasting stations add low transmitters to their signals which, in common with normal signals, are adjustable through a transmitter, but are of a very high frequency. While the frequency of normal signals varies from 20 to 20,000 Hz, the frequency of many low transmitters starts at 56,000 Hz. The main reason for using the FM system is to offset the major disadvantage of the AM system-namely, the interference of many natural or man-made radio sounds, called "parasites." Because the weak signals of AM radio are quieter than the stronger ones, differences in signal level are formed, which are then perceived as noise. AM receivers have no facility for cutting out these parasitic sounds.

To solve this problem, Edwin H. Armstrong invented a system for eliminating noise caused by the power of the waves. Instead of changing the transmission signal or the strength of the transmitter, he changed the frequency of sound waves per second. Thanks to this system, the amplitude of noise (strength of sound waves) could be reduced to a minimum. But scientists are still mystified how budgerigars manage to use this same system.
To solve this problem, Edwin H. Armstrong invented a system for eliminating noise caused by the power of the waves. Instead of changing the transmission signal or the strength of the transmitter, he changed the frequency of sound waves per second. Thanks to this system, the amplitude of noise (strength of sound waves) could be reduced to a minimum. But scientists are still mystified how budgerigars manage to use this same system.
Of course, no little budgerigar can possibly work out for itself from the time it is hatched how to apply a series of principles discovered by man only after long trials. In the same way, no parrot can know that it must produce auxiliary sounds in order to make consonants distinct or to develop systems in its throat to enable it to do so. Also, it's not possible for such a system to be the end product of a series of blind coincidences. All these complex systems we have seen are without doubt, the work of God, the Creator.

Birds' Sense of Hearing

For birds to display their talents in communicating by sound, song and in the case of some birds, words, they require excellent hearing. At critical times in their lives, their sense of hearing becomes particularly important. Experiments have shown that in order for birds to learn their species' song, they need an auditory feedback system. Thanks to this system, young birds learn to compare the sounds they produce themselves with the patterns of a song they have memorized. If they were deaf, it wouldn't normally be possible for them to sing recognizable songs.8

Birds' ears are well equipped for hearing, but they hear in a different way from us. For them to recognize a tune, they have to hear it in always the same octave (a series of seven notes), whereas we can recognize a tune even if we hear it in a different octave. Birds cannot, but can instead recognize timbre-a fundamental note combined with harmonies. The ability to recognize timbre and harmonic variations lets birds hear and reply to many diverse sounds, and sometimes even reproduce them.

Birds can also hear shorter notes than we can. Humans process sounds in bytes in about 1/20th of a second 9, whereas birds can distinguish these sounds in 1/200th of a second, which means that birds are superior at separating sounds that arrive in very rapid succession.10 In other words, a bird's capacity to perceive sound is approximately ten times greater, and in every note heard by a human, it can hear ten.11 Moreover, some birds are also able to hear lower sounds than we are. Their hearing sensitivity is so finely tuned that they can even tell the difference between pieces by such famous composers as Bach and Stravinsky.
Birds' extremely sensitive hearing functions perfectly. Clearly, each of this sense's components is created by special design, for if any one failed to work properly, the bird would not be able to hear anything. This point also disproves the theory that hearing evolved or emerged gradually, as a result of coincidental influences.

source: www.harunyahya.com

Tuesday, October 05, 2010

Rezeki Allah...

Bismillahi Walhamdulillah...

Assalamualaikum wbt...

Terasa malas nak tulis panjang-panjang. Banyak peristiwa berlaku, tapi malas nak tulis. Harini gi kelas, dapat lucky draw lagi. Kali ni memang saya tak dapat menahan gelak dalam kelas tadi. Terasa kelakar, lepas banyak libatkan aktiviti dengan produk halal ni, rasa rezeki melimpah ruah. Walau banyak jugakla duit habis nak bayar itu, bayar ini... tapi bila once tangan ini terasa ringan untuk memberi, yakinlah rezeki Allah sangat luas buat hamba-hambaNya yang berusaha menuju ketaqwaan dengan banyak memberi, insyaAllah...

Saya sangat ingat pesan ibu saya yang satu ni. "Kita ni kalau tak banyak buat amal pun, banyakla bagi orang sedekah. Jangan kedekut. Walau sedikit pun wang yang ingin diberi, beri dengan hati yang ikhlas. Kelak nanti Allah murahkan rezeki kita, malah melimpah ruah..."

Alhamdulillah, saya punya ibu yang sangat suka bersedekah...

Bukanlah niat menunjuk-nunjuk, tapi mudah-mudahan dapat diambil ibrah, insyaAllah...

Masih belajar tentang perubatan herba. Tapi kadang-kala agak 'panas' jugakla hati ni bila ada jumpa manusia yang terlalu sempit pemikiran. Kapsul susah nak telan, ubat tak sedap, kari cair tak sedap, produk melayu tak berkualiti n mahal...Geram, memang sangat geram. Tapi manusia ni macam-macam, tarbiyyah Allah juga pada jiwa saya. Nak jadi herbalis yang sabar bukan mudah. Bila berjumpa dengan macam-macam kerenah manusia ni buat hati saya bertambah besar, bertambah matang... nak cari jalan supaya bertambah sabar dengan realiti kehidupan dan ragam manusia.

Tentang informasi produk, saya perlu tambah lagi pengetahuan saya. Bila ada customer datang, tanya produk apa sesuai untuk anak yang ada gelemair kat tekak? gulp, tak tahu dan tak pasti, maka jawapan saya adalah tak pasti. Mana boleh prescribe produk sesuka hati. Maka, saya forwardkan padanya number contact perawat yang saya kenal. Maka kesimpulannya, saya sedang mengumpul idea bagaimana cara yang memungkinkan saya untuk ke Sijil Herbalis bulan Disember ni...

Tanggungjawab semakin bertambah. Mintalah didoakan mudah-mudahan Allah memberikan kecukupan kepada saya, amiin...

Cukuplah, Wassalam...
 

Text