Taqwa?
Takwa adalah hasil yang pasti. Ia adalah buah nyata dari perasaan yang mempunyai keimanan yang dalam. Keimanan ini bersambung dengan muraqabah Allah, takut kepada-Nya, dan takut akan marah dan siksaan-Nya. Dan senantiasa memohon ampunan-Nya dan pahala dari Allah. Atau takwa itu –sebagaimana dikatakan oleh ulama– adalah: “Menjauhi (takut) azab Allah dengan mengerjakan amalan yang shalih dan takut kepada-Nya di saat sepi dan ramai.”
Berpijak dari sinilah Al-Qur’an sangat memperhatikan fadhilah takwa. Hal ini bisa dijumpai dalam berbagai ayat-ayat yang jelas dan gamblang. Sehingga hampir-hampir orang yang membaca Al-Qur’an belum sampai membaca satu halaman atau baru membaca beberapa ayat melainkan di situ ia mendapati kata takwa.
Dari sinilah para sahabat dan salafus shalih sangat serius memperhatikan takwa. Mereka benar-benar telah mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka bersungguh-sungguh ingin mencapai derajat takwa dan meminta sifat takwa kepada Allah swt. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar Al-Faruq bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai ‘Apa itu taqwa’. Ubay bin Ka’ab menjawab: ‘Bukankah Anda pernah melewati jalan yang berduri?’ Umar menjawab: ‘Ya benar’. Ubay berkata: ‘Itulah taqwa.’
Atas dasar itulah, Sayyid Qutb menjelaskan dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an’, “Itulah takwa. (yaitu) hati yang sensitif, perasaan yang jernih, ketakutan yang terus menerus (kepada Allah), kewaspadaan yang tidak henti-hentinya dan menjauhi duri-duri jalan, yaitu jalan kehidupan yang senantiasa diliputi pengharapan yang tak bermakna dan syahwat, duri-duri ketamakan dan ambisi, duri-duri ketakutan dan kecemasan, duri-duri takut terhadap sesuatu yang tidak mempunyai manfaat maupun mudarat, dan berpuluh-puluh duri-duri yang lain.”
Lantaran jalan untuk meraihnya tidaklah mudah, maka upaya untuk itu diperlukan modal utama. Yakni, pertama, al-Iman (keimanan). Seorang dai mesti meyakini Allah swt. dalam segala ruang lingkupnya. Yakin akan ajaran-Nya, yakin terhadap pembelaan-Nya, yakin dengan balasan dan sanksi yang dijanjikan-Nya. Iman yang kokoh tidak akan membuatnya goyah dalam mengarungi jalan dakwah yang penuh liku ini. Modal keimanan ini tidak boleh berkurang sama sekali. Bahkan ia harus selalu penuh dan penuh. Bila perlu senantiasa surplus sehingga dapat memudahkan diri mengemban amanah dakwah ini. Perhatikan bagaimana sikap sahabat dalam mengemban tugas dakwah yang tidak pernah kendur lantaran keimanannya yang selalu meningkat seperti yang Allah gambarkan dalam surat Al Ahzab ayat 22–23.
Source: www.dakwatuna.com
Kolam hiasan
6 years ago
0 comments:
Post a Comment