Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, November 14, 2009

Tarik Preston: Namaku Membawaku Kepada Islam


Cerita Tarik Preston masuk Islam tergolong unik. Ia bersyahadat pada tahun 1988 dalam usia yang relatif masih muda, 19 tahun. Menurut Tarik, perjalanannya menjadi seorang muslim bukan cerita yang panjang, tapi perjalanan bagaimana Allah Swt terus menuntunnya menjadi seorang muslim setelah masuk Islam, justeru menjadi kisah-kisah yang penuh inspirasi buatnya.

Semuanya berawal dari namanya yang berbau nama Islam, yaitu Tarik, meski ia seorang non-Muslim. "Saya diberi nama Tarik sejak lahir. Di era tahun 60-an, 70-an bahkan 80-an menjadi hal yang biasa bagi para orangtua di Amerika memberi nama anaknya dengan nama khas Afrika. Dalam banyak kasus, mereka memilih nama Afrika yang sebenarnya nama islami dan itulah yang terjadi pada saya," tutur Preston.

Sebelum menjadi muslim, ia sering bertemu dengan orang yang juga bernama Tarik atau orang yang paham makna nama Tarik. Orang-orang itu, kata Preston, akan bertanya "kamu tahu apa arti namamu?". Ketika itu Tarik dengan bangga menjawab arti namanya seperti yang diceritakan kedua orangtuanya, "bintang yang menyebarkan cahaya terang". Setelah menjadi seorang muslim, Preston kadang menambahkan cerita dibalik namanya dengan kisah Tariq bin Ziyad. tokoh muslim yang berhasil menaklukan Spanyol.

Tarik Preston memilih jurusan biologi saat sekolah menengah karena ia bercita-cita ingin menjadi dokter. Dan di tahun-tahun pertama menjadi mahasiswa kedokteran, ia mulai membaca Alkitab, tapi ia menemukan ajaran-ajaran Kristen yang menurutnya tidak masuk akal.

Saat liburan musim semi, Preston berdiskusi dengan neneknya tentang teologi. Meski seorang Kristiani, pernyataan neneknya membuat Preston takjub. "Dia bilang, 'aku menyembah tuhan dan bukan menyembah Yesus, karena aku merasa lebih aman menyembah tuhan'," ujar Preston menirukan pernyataan neneknya. Sejak kecil Preston memang dekat dengan neneknya itu.

Sejak perbincangan itu, kata Preston, kebiasaannya berdoa setiap malam tidak lagi dilakukan atas nama Yesus, tapi ia memanjatkan doannya langsung atas nama tuhan.

Suatu hari, Preston sedang berjalan menuju kampus ketika berjumpa dengan seorang juniornya yang ia tahu sudah memeluk agama Islam. Juniornya itu menyapa Preston dengan ucapa "assalamua'alaikum". Bagi Preston yang tumbuh dewasa di kawasan Chicago di era tahun 70-an, kata "assalamua'alaikum" bukan kata yang asing buatnya. Maka ia menjawab salam itu dengan ucapan "wa'alaikumsalam".

Juniornya itu kemudian bertanya apakah Preston seorang Muslim. Ia menjawab "bukan" dan mengatakan bahwa ia seorang penganut 'persekutuan metodis". Dan juniornya berkata, "Oh! saya kira kamu seorang muslim karena namamu Tarik."

Tak lama setelah pertemuan itu. Preston berjumpa lagi dengan juniornya itu di satu mata kuliah dan ia berusaha menjelaskan tentang Islam pada Preston dan beberapa teman sekelas. "Dia masih sangat muda dan baru sedikit tahu tentang Islam. Tapi ia memperingatkan kami tentang bahayanya menyembah Yesus," tutur Preston mengingat perbincangan itu.

Musim panas pun tiba. Preston mengisi liburan dengan bekerja sebagai telemarketer dimana ia bertemu dengan seorang muslim bernama Ahmed. Ahmed juga seorang mualaf asal Puerto Rico. Pertama kali bertemu, Preston bertanya pada Ahmed, "Apakah kamu seorang muslim?"

Ahmed menjawab, "Ya, Tarik. Kamu?

"Saya bukan muslim. Saya penganut persekutuan metodis," ujar Preston.

Ahmed tersenyum dan berkata,"Dengan nama Tarik, kamu seharusnya seorang muslim."

Dan selanjutnya, dari Ahmed, Preston tahu tentang apa itu agama tauhid dan Preston mengaku terkesan dengan konsep Islam tentang keesaan Tuhan. Suatu ketika saat diundang ke rumah Ahmed, Preston kagum melihat betapa Ahmed sangat memuliakan kitab suci Al-Quran dan Preston bertanya apakah ia boleh meminjam Al-Quran itu.

Ahmed awalnya terlihat enggan dan beralasan bahwa ia cuma punya satu Al-Quran. Tapi Ahmed akhirnya mengijinkan dengan permintaan agar Preston benar-benar menghormati Al-Quran, menjaganya agar tetap bersih dan disimpan ditempat yang layak.

"Saya tidak sabar ingin segera membaca Al-Quran itu," imbuh Preston.

Dua minggu kemudian, Preston mengundang Ahmed ke rumahnya dan kembali berdiskusi tentang Islam. Saat itu Preston mengatakan pada Ahmed bahwa ia meyakini Al-Quran sebagai kebenaran dan ia ingin menjadi seorang muslim.

Akhirnya, keesokan harinya, Preston dan Ahmed berangkat ke Islamic Center di Washington D.C. Di sanalah, Preston mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim.

Berkat rahmat Allah Swt, beberapa tahun kemudian, Preston mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang Islam di Universitas Islam di kota Madinah, Arab Saudi dimana ia mendapatkan gelar sarjana di bidang bahasa Arab dan ilmu hadist.

"Saya berharap, cerita bagaimana saya memeluk Islam bisa mendorong non-muslim lainnya untuk hijrah ke agama Islam. Saya juga berharap kisah saya ini mendorong saudara-saudara saya sesama muslim untuk terus menyebarkan kebenaran pesan-pesan Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan," tukas Tarik Preston menutup kisahnya. (ln/readislam)

source: Eramuslim

1 comments:

rossees said...

Salam,

Menarik sungguh kisah Tarik Preston. SubhanAllah..

 

Text