Oleh Mira Kania Dewi
Aku mengenalnya empat tahun silam. Usianya terpaut empat tahun lebih muda dariku. Sebut saja Melati (bukan nama sebenarnya). Kami pertama bertemu saat bersama-sama melakukan tadabbur alam ke pantai Rayong bersama komunitas muslim Indonesia lainnya di Negeri Siam.
Melati menikah di tahun yang sama dengan pernikahanku (tahun 1995). Pernikahannya tergolong muda di jaman seperti sekarang ini. Aku menikah di usia 24 tahun, berarti tentunya Melati menikah di usia 20 tahun.
Sejak mengenalnya aku banyak belajar hal-hal baru yang tentunya bernilai positif. Banyak keunggulan yang dimiliki Melati sebagai seorang wanita sekaligus seorang istri. Walaupun usianya masih muda namun pengetahuannya sangat luas. Selain ia sudah menyandang gelar S2 dan menguasai berbagai bahasa asing, Melati juga pandai mengaji dan memiliki pemahaman yang baik tentang Islam. Tak heran, ia menjadi salah satu ustadzahku dalam menimba ilmu agama.
Tak hanya itu, Melati juga seorang yang sangat bersahaja, mandiri, dan seorang wanita yang kuat dalam menjalani hidup. “Tiada seorangpun yang dapat kita sandarkan termasuk suami, ayah, ibu atau kakak dan adik, kecuali Alloh,” sahutnya lirih kepadaku saat ia menghadapi cobaan hidup.
Persahabatan kami tak hanya seputar murid dan guru, Melati juga menjadi partnerku dalam bermain badminton di akhir pekan. Kami mempunyai tujuan yang sama, ingin menjaga kesehatan dan stamina tubuh.
Satu hal yang membedakan kami berdua, aku telah meraih gelar “ibu” sedangkan Melati masih berjuang mendapatkannya. Melati bercerita, berbagai ikhtiar telah dilakukannya sejak awal pernikahannya termasuk usaha bayi tabung. Namun akhirnya ia harus menelan kekecewaan saat mengalami keguguran di usia kehamilan satu bulan.
Entah satu dan lain hal yang aku sendiri tak tahu pasti, Melati berkata bahwa keguguran yang ia alami mengharuskannya menjalani operasi di perutnya. Maka sejak saat itu pula perutnya mengalami gangguan. Pihak rumah sakit di Negara Hitler tempat dahulu ia bermukim di sana, menyatakan bahwa Melati tak mungkin bisa hamil dan mendapatkan keturunan. Kejadian itu terjadi lebih dari 10 tahun silam. Melati berduka, pupus sudah asa menjadi seorang ibu dan menimang buah hati di pangkuannya. Namun ia tetap berusaha untuk tetap tegar dan selalu riang.
Seiring dengan kepindahannya ke Negeri Gajah Putih, suatu hari sempat aku utarakan kepada Melati agar ia mencoba untuk berobat lagi untuk mendapatkan keturunan.
“Setahuku, sudah cukup banyak lho orang-orang Indonesia yang berhasil mendapatkan keturunan di sini,” sahutku.
“Iya, sebetulnya aku sudah ada niat berobat lagi. Nanti deh kalau sedang agak longgar waktunya,” begitulah kurang-lebih jawaban Melati kepadaku. Tak sepertiku, Melati adalah seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan besar sehingga hari-harinya sudah disibukkan dengan bekerja seharian di kantor. Sehingga akhir pekan menjadi sangat berharga baginya untuk melepaskan lelah sekaligus tetap mengurusi urusan rumah tangga lainnya. Jadwal yang cukup padat buat Melati.
Lama kami tak berjumpa. Dalam sebuah pengajian akbar di KBRI, aku bertemu lagi dengan Melati. Tiba-tiba di akhir acara, ia menghampiriku dan dengan sedikit berbisik ia berseru,” Mbak, aku hamil!”.
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 16 : 96)
Aku terharu mendengarnya. Subhanalloh! Sahutku sambil memeluknya. Mataku sedikit berair. “Jaga kesehatan ya, Melati,” lanjutku kemudian. Pernyataan dokter tentang ketidakmampuannya memberikan keturunan terbukti keliru. Memang, jika Alloh sudah berkehendak maka tak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya.
Kegiatan bermain badminton di akhir pekan tak dapat lagi dilakukannya. Sejak saat itu kami menjadi lebih jarang bertemu. Melati harus menjaga kesehatan dan kehamilannya dengan baik. Belum lagi, ia harus berjuang melawan rasa mual yang menjadi-jadi di awal kehamilan. Namun itulah anugerah yang tiada terkita buat kami, para ibu. Ya, itulah kenikmatan yang hanya diberikan oleh wanita-wanita pilihan-NYA kala memegang amanah untuk menjadi seorang ibu.
Tak terasa empat bulan berlalu. Semua tampak lancar-lancar saja. Namun suatu siang, aku dikejutkan oleh berita via sms tentang kehamilan Melati. Melati mengalami pendarahan. Astagfirullohal’adzim, semoga Melati dan bayinya diberikan kekuatan, kesehatan, dan keselamatan, jeritku dalam hati.
Alloh Hafidz, bayi dalam kandungannya dinyatakan sehat wal’afiat. Melati boleh pulang ke rumah dengan syarat harus tetap bed rest (istirahat di tempat tidur). Tak terbayangkan bagaimana besarnya pengorbanan yang dilakukan Melati dan berjuta-juta wanita lainnya selama masa kehamilan. Maka sudah sepantasnyalah predikat “surga di bawah telapak kaki ibu” disandang oleh wanita-wanita pilihan termasuk Melati.
Dua hari kemudian aku menjenguknya di rumah. Rupanya Melati mengalami plasenta yang letaknya di bawah (plasenta previa) sehingga akan terjadi pendarahan jika ia melakukan suatu aktivitas. Kulihat Melati berbaring tak berdaya di atas tempat tidur. “Sabar ya, Melati. Beginilah kalau menjadi ibu. Harus siap berkorban kapan saja, di situlah letak surganya,” sahutku perlahan. Aku yakin, Melati pasti lebih paham tentang hal ini daripada aku.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)...” (QS 46 : 15).
“Do’akan kami ya, Mbak. Aku sangat bersyukur dan bahagia sekali sudah bisa merasakan hamil dan sampai ke tahap seperti ini,” ujarnya sambil berusaha tersenyum. Tanpa ia jelaskan, aku sudah mafhum betapa bahagianya ia menyambut buah hatinya. Foto-foto hasil USG (ultra sono grafi) dipajang di dinding kamar Melati bersebelahan dengan tempat tidurnya. Belum lagi, berbagai literatur yang dibaca Melati untuk mempersiapkan kehadiran jabang bayi.
Melati menceritakan kejadian yang telah dialaminya malam itu. Sekitar pukul 12 malam ia terbangun dari tidur dan terkejut menemukan seprai tempat tidurnya berlumuran darah segar. Meski takut dan bingung, Melati berusaha berjalan perlahan dituntun sang suami menembus gelapnya malam mencari sebuah taksi menuju rumah sakit.
Ah, sudah tiga buah taksi yang ia hentikan di pinggir jalan namun tak satupun yang mau mengantarnya ke rumah sakit. Melati panik dan gelisah. Melati lupa, bahwa hari itu adalah hari terakhir masih berlakunya jam malam akibat konflik politik yang sedang melanda Negeri Gajah Putih saat itu. Sesuai aturan yang berlaku, tidak boleh ada yang keluar rumah saat jam malam diberlakukan (24.00-04.00). Jadi itulah sebabnya mengapa beberapa taksi tak bersedia mengantarnya. Allohu Akbar!
Do’a seorang wanita hamil, diijabah oleh Alloh dan di’amin’kan oleh beribu-ribu malaikat. Alhamdulillah, Alloh Maha Penolong, akhirnya taksi ke-4 bersedia mengantarnya menuju rumah sakit.
Singkat cerita, empat bulan berlalu sejak aku meninggalkan Negeri Siam untuk berhijrah pulang ke tanah air tercinta. Tiga hari lalu, aku kembali dikejutkan oleh berita tentang Melati. Namun kali ini berita gembira yang aku dapat dari sms telepon genggamku. Alhamdulillah, Melati telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat wal’afiat melalui operasi caesar.
Melati, kuucapkan selamat atas kelahiran buah hatimu yang telah engkau dambakan dan engkau tunggu 15 tahun lamanya. Aku turut bahagia. Aku do’akan dari jauh, semoga anakmu menjadi anak yang sholeh, yang menjadi penyejuk hati ayah-bundanya.
Melati, akhirnya gelar “ibu” berhasil kau raih. Betapa mulianya derajat itu sehingga patut kita syukuri bersama. Tak semua wanita mendapatkan gelar yang indah itu. Kau layak mendapatkannya. Semua itu adalah buah manis dari Yang Maha Penyayang dari kesabaran dan keihklasanmu selama ini.
Melati, semoga suatu hari nanti kita dapat bertemu kembali dan berkenalan dengan permata hatimu. Kelak kau akan menyadari betapa nikmat dan bahagianya menjadi seorang ibu seperti yang aku rasakan.
Wallohua’lam bishshowaab.
(mkd/bintaro/19.10.10)
source: www.eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment